Sabtu, 09 Maret 2024

Pernah, bersama.

Halo, buku catatanku.

Sudah lama sekali aku tidak menorehkan kata-kata pada lembaranmu. Bolehkah aku bercerita tentang hidupku belakangan ini? Tentang bagaimana aku menjalankan hariku, dan tentang seseorang di dalamnya. Semoga, engkau masih ingin mendengarkannya - kisah yang sungguh sungguh harus kutuangkan di sini.

Kata orang, engkau akan bertemu setidaknya sekali dengan seseorang yang sungguh merupakan cerminan kita. Seseorang yang benar-benar berlaku dan berpikir seperti yang kita lakukan. Yang membuatmu akan berkata "wah, dia sungguh-sungguh sepertiku." sehingga kau akan merasa begitu nyaman bersamanya. Laki-laki inilah yang akan kuceritakan. Laki-laki yang pernah menjadi bagian dari hidupku.

Aku pernah bersama seorang laki-laki yang kutemui di tempat kerja pertamaku. Laki-laki yang tampak tidak peduli, namun membuatku bertanya-tanya. Rasa penasaran yang sudah muncul sejak mulai berteman dengannya. Laki-laki ini sepertinya pemalu. Tidak mampu mengungkapkan perasaannya melalui ekspresi di wajahnya. Namun, aku tahu persis sejak awal, ia akan mengucapkan dan melakukan apa yang ia anggap benar. Dan seperti yang ia nyatakan padaku sekarang, begitulah gambaran ia di mataku. Ia tidak pernah menyesali hal yang ia putuskan untuk dilakukan. 

Aku pernah bersama laki-laki yang unik. Laki-laki yang bisa tiba-tiba menghubungiku, kemudian tidak, kemudian siklusnya akan berulang. Aku sungguh penasaran, bagaimana bisa ia tau kelemahanku? Rasa penasaran ini akan semakin menggebu-gebu. Aku ingin tahu isi kepala laki-laki ini. Bagaimana bisa ia menghubungiku di waktu yang menurutnya tepat saja? Namun, kapankah waktu yang tepat itu? Bagaimana aku bisa tahu sementara aku hanya bisa menunggu? Di saat-saat aku ingin membersihkan hatiku dari sisa-sisa masa lalu, kehadirannya membawa sepercik kebahagiaan. Pulang-perginya pada kolom chat Whatsappku membuatku punya semangat untuk menjalani hari.

Aku pernah bersama laki-laki yang menyukai sebuah "perjalanan", sama sepertiku. Bagi kami, lamanya perjalanan adalah sebuah hal yang sangat kami nikmati. Kami hampir tidak pernah mempermasalahkan tujuannya, hanya ingin bersama dalam waktu yang lama. Mengarungi perjalanan dengan suara kereta yang beradu dengan rel, mendengar suara bising di jalan raya, semua kami nikmati sambil bercakap. Membagi cerita kehidupan sembari bersandar di bahu laki-laki itu adalah favoritku. Aroma tubuh dan wangi parfum khasnya selalu menjadi rumah yang nyaman untukku. Dihiasi dengan gemericik hujan serta teh hangat itu membuatku ingin berlama-lama dan menghentikan waktu. 

Aku pernah bersama laki-laki yang begitu sabar dan tenang. Sungguh, kau tahu seberapa luas samudera itu? Kesabarannya pun tak kalah tanding dengan lautan itu. Bagaimana ia sungguh lapang dada mengakui kesalahan yang tidak ia buat, hanya karena wanita ini yang begitu sering menyalahkan. Wanita yang suka mengomel tanpa sebab ini harus dihadapinya. Namun, seberapa ia merasa lelah disalahkan, ia tidak pernah sekalipun ingin aku menjauh. Selama yang kupahami, ia tak pernah membenciku. Ia selalu berusaha mengembalikan keadaan dan pembicaraan yang begitu porak poranda dengan kata "yaudah iya, maaf yaa" sembari menggenggam tanganku. Tuhan, mengapa laki-laki ini sungguh baik hatinya?

Aku pernah bersama laki-laki yang selalu memujiku. Diriku, penampilanku, pencapaianku, pekerjaanku, semua yang kulakukan selalu dianggap baik baginya. Sungguh, kata-kata pujiannya kepadaku sangat terasa cukup untuk menjadi bayaran atas kerja kerasku. "Selamat yaa, kamu kereen." dengan mudah kata-kata itu menyunggingkan senyum di wajahku. Yang ada di kepalaku saat itu adalah ingin segera memeluknya dengan erat dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan dorongannya kepadaku selama ini. Bahkan, di titik terendah aku membenci diriku sendiri, ia dengan penuh kasih mengingatkanku bahwa ia dengan cintanya akan selalu merangkulku erat sehingga aku tidak perlu mengkhawatirkan satu hal apapun.

Aku pernah bersama laki-laki yang begitu mencintai hal yang ia kerjakan. Matanya begitu berbinar setiap menceritakan hal yang ia sukai. Pertandingan e-sport, sepakbola, bahkan pekerjaannya sehari-hari. Walaupun pekerjaan itu begitu menguras tenaga dan pikirannya, ia selalu merasa senang mengerjakan hal itu dan menceritakannya kepadaku. Aku sungguh bangga kepadanya. Namun lagi lagi, wanita keras kepala ini suka mengganggu waktu berharganya dengan hal yang sungguh tidak perlu dilakukan. Wanita ini kerap lupa bagaimana sang laki-laki selalu berusaha membagi waktu dan tetap mengutamakan hubungan mereka. Aku merasa begitu jahat kepadanya dan akan menyesali perbuatanku dengan waktu yang lama. Titik di mana kami sama-sama lelah adalah saat paling jahat dalam hubungan kami. Ego yang begitu tinggi sulit kami kendalikan. Tapi lagi-lagi, cinta menang di atas pengganggu itu. Luar biasa, bukan? Sejauh perjalanan cinta yang kulakukan, hanya bersamanya aku bisa menghadapi ini semua dengan rasa percaya pada hubungan kami.

Aku pernah bersama laki-laki yang tidak akan bisa bersamaku. Laki-laki yang tidak bisa kumiliki seutuhnya. Tapi Tuhan Maha Baik. Aku diizinkan mengenal laki-laki itu barang sejenak, sehingga kami sempat mengenal dan mengukir kenangan bersama. Aku percaya, takdir Tuhan pasti selalu baik. Kami diminta untuk belajar memahami dan mengerti bahwa berpasangan itu membutuhkan kompromi dan komunikasi. Kami sungguh yakin bahwa melepas sesuatu yang sungguh berarti dan besar dalam hidup akan diganti dengan yang jauh lebih baik oleh Tuhan. Aku, dari lubuk hatiku paling dalam, mendoakannya jalan yang terbaik dalam hidup. Doa yang begitu tulus bagi orang yang sangat tulus mencintaiku selama hampir tiga tahun ini. Semoga, seluruh hal baik dari semesta menghampirinya. Dan semoga, ujung perjalanan cinta kami masing-masing akan menemui titik yang begitu indah.

Untuk laki-laki yang bernama Aleee - nama favoritku - kau adalah bagian hidup terindah yang tak akan pernah kusesali. Terima kasih tidak akan cukup untuk membalas kebaikanmu. Kata maaf pun tidak akan mampu menebus semua kesalahan yang telah kuperbuat padamu. 

Mari tetap berhubungan baik, bagaimana menurutmu?


-dariku, Ale, Amora, dan Alaia.

Jumat, 18 September 2020

Aku Pulang!

Begitu panjang jalan yang kulalui, sampai akhirnya aku berada di titik ini. Titik di mana aku harus berdiri sendiri. Titik di mana penjelajahan hidup yang sebenarnya, akan dimulai.

Tak banyak yang tahu, sebelum sampai di titik ini, aku harus menempuh jalan yang terjal berbatu. Medannya penuh rintangan dan kesabaran. Saat itu aku tak berjalan sendiri. Ada tangan yang menggandengku untuk menempuh lika-liku hidup saat itu. Namun, rintangan terakhir menyebabkanku harus saling memegang tali satu sama lain. Bergantungan. Berseberangan. Siapa yang melepas, ia akan menjatuhkan lawannya. Genggaman tali itu begitu kuat sampai-sampai menimbulkan luka pada tangan ini. Terasa sakit jika tetap digenggam, namun tak kuasa untuk melepas. Sampai akhirnya, kurelakan ia terjatuh bersamaan denganku yang melepas tali itu.

Perjalanan yang begitu rumit mengantarkanku pada suatu ruang. Ruang itu begitu indah namun tidak ada yang menempatinya. Aku mengatur nafasku setelah menempuh perjalanan jauh. Mencoba menenangkan diri dengan tertidur pada hamparan rumput yang luas. Di hadapanku, birunya langit seperti lukisan Tuhan yang sangat sempurna. Awan-awan bergumul seolah menyambut kedatanganku. Jadi, ini di mana?

Takdir menunjukkanku bahwa aku telah pulang. Ya, ini adalah rumahku. Rumah yang sedang kubangun selama 22 tahun ini. Rumah yang kususun dengan cinta kasih orang tua dan bumbu-bumbu kebahagiaan senda gurau bersama teman-temanku. Rumah yang kutata rapi setiap ada yang berusaha untuk menghancurkannya. Rumah, yang sempat kutinggal beberapa waktu, untuk menata rumah seseorang. Ia memintaku untuk bersama-sama membangun rumah tinggal. Kenyataannya, rumah yang ku (kami) tata sepenuh hati, harus runtuh begitu saja akibat rusaknya pondasi rumah itu. Kepercayaan. Aku sempat bertahan pada puing-puing rumah itu namun tak akan berguna jika hanya akan hidup seorang diri pada sisa-sisa lembar yang tak mungkin diisi kembali.

Senyum mentari yang begitu terik seolah menegur kesalahanku, yang lupa bahwa tak seharusnya aku meninggalkan rumahku. Tak seharusnya aku membiarkan orang lain menjemputku untuk menjadi diriku yang berbeda. Apa yang kubangun selama ini begitu kokoh atas prinsip-prinsip yang kuyakini. Namun, ternyata bantuanku padanya disalahartikan. Ia memintaku untuk tak membawa segala dari rumahku dan membentuk cerminan baru dari diriku. Ia menggiringku untuk terikat pada kebahagiaan semu, yang semestinya tak kupercayai sedari dulu.

Renungan membawaku pada kesadaran bahwa tak semestinya aku pergi ke mana-mana. Keindahan rumah ini begitu nyaman tuk ku nikmati. Masih banyak hal yang harus kubenahi. Rumahku masih membutuhkan pernak-pernik pencapaian dan kebahagiaanku untuk mengisi ruang di dalamnya. Bunga-bunga di taman harus kusiram dengan air mata bahagia dan kupupuk dengan kehangatan pada diri sendiri. Aku harus memperoleh capaian diri setinggi mungkin agar rumah ini semakin terisi. Iya, aku harus melanjutkan impianku pada rumah ini.

Kelak, yang kubutuhkan adalah seseorang yang mengerti bahwa aku bekerja keras pada rumah ini. Seseorang yang juga telah bekerja keras untuk dirinya sendiri. Saling menyemangati untuk menata kehidupan di dalam tiap rumah. Bahwa ia percaya, masing-masing dari kita sedang membangun jati diri. Jika nantinya ruang diriku dan dirinya telah selesai terwujud, niscaya bekal yang akan kita bawa untuk membangun rumah baru akan semakin kokoh. Rumah yang begitu kuat, namun nyaman dan damai bagi para Tuannya. Tuhan akan menunjukkan siapa yang telah bekerja keras untuk dirinya, dan kepadamu yang bekerja keras juga ia akan dituntun. 

Kepadamu, Dewa Agung Dita Krisnayanti.

Aku berjanji akan menjadikanmu prioritas dalam hidupku. 

Aku berjanji akan selalu menyebutmu dalam doa dengan penuh cinta kasih.

Aku berjanji, kita akan bersama-sama membangun rumah ini.


Salam sayang, dariku, untuk diriku. 



Minggu, 13 Oktober 2019

Ruang

Aku, di mana?

Sejauh mataku memandang, aku berada di dalam sebuah kubik. Tidak besar, mungkin hanya cukup ditempati olehku dan semua kegelisahanku. Penuh sekat dan keterbatasan. Sepertinya, aku tersesat. Baru saja aku merasakan girang yang teramat, terbawa oleh suasana bahagia yang dihadirkan olehnya. Ya, dia.

Dia yang membawaku berujung pada kehampaan ini.

Dulu, bagiku dunia seperti tak ada batasnya, tak seperti di teori-teori yang kau baca dalam ensiklopedia. Duniaku begitu berwarna. Segala apa yang ada seolah-olah menyaksikan kami berdua selalu bersama. Seakan semesta turut merasakan kebahagiaan itu. Suara air gemericik seakan mengalun bersama angin, begitu merdu. 

Dia, adalah alasan mengapa aku bertahan. 

Mengapa bertahan? Bertahan dari apa? Bertahan dari gejolak dalam diri untuk mengadu. Bertahan karena tau ia butuh. Mengendalikan egoku agar ia menurut untuk tidak meluap-luap. Sebenarnya sederhana. Aku yang selalu berpikir bahwa ia lebih membutuhkanku, sehingga aku berubah menjadi sosok yang diinginkannya. Bukan, bukan aku mengungkit segala kebaikan yang telah tertoreh. Hanya saja, diri ini ingin sedikit dihargai.

Dia, sosok yang punya arti dalam hidup ini.

Bagaimana tidak? Hampir setiap harinya klakson motor berwarna merah itu berbunyi didepan kostku. "Hari ini makan apa kita?" "Ah bosan, jangan yang itu." "Ayo kita pergi jauh-jauh, supaya bisa menikmati perjalanan." Aduhai, begitu romantis bukan? Belahan bumi sebelah mana yang menciptakan lelaki begitu baik dan menyayangi seperti dia? Bahkan, di saat-saat terburukku, dia mampu menjanjikan kehadiran dirinya tepat di sebelahku. Membelai rambut ini dan mengatakan "Everything's gonna be okay."

Jadi, bagaimana bisa aku melihat dia pergi begitu saja tanpa tahu sebabnya? Dia saja, ataukah membawa serta perasaannya untukku?

"Biarlah sejenak, waktu yang akan menjawab."

Waktu?
Waktu yang kami lalui memang terlampau lama. Ah, iya! Barangkali ini menjadi biang keroknya. Sudah hampir 1000 hari kami bersama. Lama sekali, huh? Barangkali pula, aku yang tak bisa sepenuhnya memenuhi keinginannya saat ini. Persis seperti katanya, "Hanya waktu dan jarak yang bisa memisahkan kita." Tepat sekali. Jarak sedang memisahkan kita. Teramat jauh. Mau bagaimana lagi?

"Mungkin hanya perasaan sesaat saja."

Walau sedetik, kau tak tahu bagaimana perasaan ini menghujaniku. Semua pikiran negatif datang dari segala penjuru. Apakah sudah ada tandinganku? Apakah semua kebaikan-kebaikan yang pernah kuberikan tidak ada artinya lagi di matanya? Atau, memang ini akan menjadi akhir cerita? Tenang, aku tak pernah berharap demikian. Aku adalah orang yang selalu percaya bahwa dalam setiap masalah akan ada jalan keluarnya. Tapi, apa kali ini ada?

Ruang ini semakin sempit. Dipenuhi amarah dan kesedihan yang merajalela.

Ruang, ah, ruang.

Aku yang terkurung dalam ruang ini, harus memberi ruang untukmu. Ruang antara kita, yang kelak, bisa menjadi obat dari rindu yang tak kunjung terungkap. Rindu yang justru menjadi bumerang dalam hubungan ini. Pergilah sejauh yang kau inginkan. Gapai semua asa yang tergantung di atas sana. Namun jangan lupa, rumah adalah tempatmu pulang. Pulanglah saat rindu itu ingin kau tumpahkan dengan penuh rasa cinta.

Jika kau sudah kembali, bukalah pintu dari ruangan sempit ini. Aku ingin keluar. Memelukmu erat. Walau sedikit kemungkinan.


Minggu, 05 Mei 2019

Senja Sendu

Aku ingin bertanya, kawan.

Apakah setiap insan diciptakan untuk selalu memberi aksi-reaksi terhadap lawan kita?
atau,
Justru seharusnya kita yang menyesuaikan?

Apakah "Kita harus mementingkan perasaan orang lain terlebih dahulu"?
atau,
"Pedulikanlah perasaanmu! Jangan selalu mengalah!" yang lebih tepat?

Sejujurnya aku bingung,
bimbang,
hampa.

"Ya kan, setiap keputusan yang kita ambil ada konsekuensinya."
Ya, aku tahu.
Aku tahu betul itu.

Tapi, apakah kalian betul betul tahu aku?

Aku memang bukan orang yang pandai mengucap rasa.
Aku lebih baik memendam, karena ku percaya niscaya akan teredam.
Tapi aku terkadang ragu, ini akan berlalu, atau menjadi abu-abu.

Mungkin aneh bagimu, jika aku lebih memilih diam dan melukai perasaanku.
Aku tak mau orang lain bersedih karenaku, jadi biar aku saja yang merasakan pilu.
Walau terkadang memuncak, meluap-luap, menyesal juga - pada akhirnya.
Dan sama saja, orang itu tak akan menyadarinya.

Aku tersesat, kawan.
Jalan manakah yang harus kupilih?

Bintaro, 05 Mei 2019
16.35 waktu bagian pilu
di antara keramaian orang bercengkrama

Jumat, 08 Februari 2019

Ungkapan Rindu

Mungkin, kata orang benar, pertemuan jauh lebih berharga.
Pertemuan membahasakan kata jauh lebih bermakna.
Tatapan mata, cerminan sikap, bahkan, cara dudukmu saja mengartikan sesuatu.
Jauh, jauh lebih baik, ketimbang saat jauh.

Katamu,
"Nanti, kamu jangan telat balas ya! Aku cepat rindu."
Aku hanya bisa tersipu malu, tanpa berani akui bahwa,
"Ya, aku pun, rindu."

Katamu,
"Jaga dirimu baik-baik ya, buat aku."
Tentu saja. Siapa yang berani macam-macam denganmu?
Hohoho, tentu tidak ada. Mereka selalu tahu kau menjagaku sepenuh hati.

Tapi,
Katamu juga,
"Kamu jangan hanya melihat satu sisi saja."
Tidak, aku bahkan menahan untuk menyatakan hal yang tidak kusukai.
Aku takut kamu marah, kemarahan itu menjauhkan kita dari kebaikan.

"Kamu juga sering sibuk."
Barangkali, kosakata yang kau gunakan kurang tepat?
Biar ku koreksi,
"Aku sedang menyibukkan diri, agar tidak rindu berkepanjangan."

Ternyata aku salah.
Barangkali kita memang baik-baik saja. 
Namun ada hal penting yang harus sama-sama dijaga.
Perasaan.
Satu sama lain. Empati tepatnya.

Senja sore kemarin tak seindah biasanya.
Tetap kutunggu hadirnya, namun ternyata tak disambut pula dengan sapaan hangatmu.
Diri ini belum membiasakan diri, sayang. Maukah kau memaafkan hal ini?
Sampai aku bisa menerima bahwa,
Pandangan setiap orang akan sesuatu pasti berbeda. 

Sepucuk surat rindu, 
367 miles below you❤️ 

Jumat, 14 April 2017

#edisilegaUTS

Halo, kamu yang di sana.
Aku yakin 100000% kalau kamu lg bahagia, walaupun bukan sama aku. Terlalu banyak orang yg bisa memprioritaskanmu daripada aku, iya kan?

Coba throwback yuk, ke masa-masa dulu. Kok bisa kupanggil kakak sih? Hmm, kayanya karena obsesiku yang terlalu tinggi untuk punya kakak laki-laki kali ya :)) Maaf ya? Kalau ternyata memanggilmu kakak adalah hal yang salah sehingga kau pun memintaku untuk tidak memanggil seperti itu lagi.

Trus trus, dulu sering banget ga sih belajar bareng? Atau sekedar pergi deh. "Kak, ke sana yuk. Kak, ke sini yuk" "yaudah ayo" "udah depan hmm" wahhh jadi rindu, every second we've spent nggak pernah aku lupain....honestly. Tapi nggak tau kalau di sana gimana, ya cuma bisa berharap nggak dilupain aja kok. Nggak muluk2 mah aku mintanya. Atau mungkin, malam ini kita bisa pergi bareng lagi? Untuk sekedar pergi sebentar, menikmati angin malam yang katamu sering kamu lakukan dulu kalau lagi suntuk, gapapalah sini suntuknya dibagi sama aku, cerita2 lagi. Cerita gimana susahnya kehidupan, gimana rindunya sama rumah, gimana masa lalu mengajarkan kita sesuatu, ya kan? Aku tahu kak, dan kamu selalu bercerita tentang itu. Aku cuma rindu binar matamu kalau bercerita tentang pencapaianmu selama di sini, dan bagaimana kebebasan membawamu terbang tinggi tanpa kamu sadari. Lelah kuliah, masalah pertemanan, sering kamu tumpahkan ke aku kak. Dan aku siap menjadi 24/7 pendengarmu. Hehe, walaupun sekarang mungkin udah nggak bisa. Eh bisa nggak? Aku sih masih siap, nggak tau kalau di sana udah nggak mau lagi:)

Ada sih sesuatu yang paling diinget, paling bisa dikenang. YAK! Jalan-jalan kita seharian, membuang waktu tanpa membuang-buangnya (ngomong apasih?) ke Jakarta naik motor coy! motor! gila lah ya, terlalu nekat kita! (Biasanya kakak sih bilang "nggak. b aja" pake emot nangis tapi ketawa ituloh). Banyak pembelajaran waktu jalan-jalan kan? Banyak banget, sampe akhirnya nemu panties pizza yang sekarang ada di Bintaro! Kak, tau nggak, aku nggak dapet loh buy 1 get free 1 nya :( Kakak dapet? Ah... terlalu panjang kalau diceritain semua jalan-jalannya. Wkwkwkwk, bukannya kita janji mau long trip lagi ya? Yuk, eh tapi aku sungkan ngajakinnya. Udah banyak ya yang ngajakin pergi? Nanti malah mager lagi pergi sama aku ya kan? gapapa sih, heum:(


........

Tapi, nggak ngerti lagi kenapa sekarang. Semuanya berubah. Jangan tanya aku kenapa, aku nggak tau. Aku sendiri bingung. Kakak kenapa? Sekarang udah nggak kaya dulu lagi, dimana ketika aku tanya gitu jawabannya "gapapa, dek" atau "biar ditanya aja" HEHEHEHE iya inih aku mau nanyain lagi, tapi sekarang nggak digubris:( Sebatas chat aja nggak dibales. Aku tanya kenapa nggak dibales. But I know you're there, Kak. I know. Aku ingin ngomong, tapi nggak bisa. Aku tau di sini posisiku salah, walaupun aku nggak tau salahku di mana. Kalau salahku karena aku belum menyampaikan sesuatu, aku sebenernya udah bilang loh mau nyampein cuma kalau kita ketemu langsung. I hate talking serious things in chat, Kak. I know u'll not be as responsive as kalo kita ketemu. Masa jalan-jalan terakhir fat bubble doang? Kan aku juga mau cerita kak:( as much as you want to cerita juga. 

Aku mau bilang terima kasih banyak kak, terima kasih banyak karena telah mau membuang-buang(?) waktumu selama ini cuma untuk nemenin adik yang ga jelas gini :") terima kasih mau mendengar ceritaku, walaupun kadang yang kuharap  bukan jawaban "sabar aja haha" tapi gapapa! aku lebih baik denger jawaban gitu daripada gak dijawab sama sekali, persis kaya sekarang. Terima kasih untuk bahu yang selalu ada di kala aku lelah. Mau minta maaf juga, udah terlalu banyak sih ngerepotin, udah terlalu banyak salah yang bahkan kalau di list mungkin over list ya :)) maafkan Kak, aku cuma manusia biasa. Masih terlalu banyak butuh belajar. Maaf belum bisa menjadi adik yg terbaik dibandingkan adik2 yang lainnya yang selalu ada buat Kakak :) Mereka yang kakak bangga sebut "adik" beda denganku, yang mungkin hanya segelintir orang yang tau betapa bangganya aku menyebutmu Kakak, entah bagaimana denganmu. Yang jelas, hubungan kita tak seperti hubunganmu dengan adik2mu yang lainnya, yang tak banyak ada masalah dan sampai sekarang kalian masih saling dekat, sementara aku hanya bisa menunggu dan menyebutmu dalam doa.

Entah harus bagaimana lagi, aku nggak tau Kak. Maaf aku mencurahkan di sini, karena kalau langsung atau di line mungkin aku keburu nangis:( (cengeng banget kan Kak?) Aku nggak tahan lagi buat cerita, terlalu banyak kata yang belum terucap karena aku nggak sanggup menyakiti orang yang aku sayang, terlebih Kakakku. Lebih baik kupendam. Mungkin sifat kita bertolak belakang ya kak? Nggak apa-apa kok Kak. If u wanna meet me, I'm still in the same place. Still your sister. Aku akan tetap menjadi adikmu, walaupun aku nggak tahu bagaimana ceritanya kamu tidak mau lagi kupanggil Kakak. Aku sendiri nggak tahu gimana harus bersikap kalau bertemu denganmu. Aku harus senang, atau aku tidak bisa menahan air mata. Entahlah. Ku hanya rindu, itu saja.

Semangat menghadapi UTS kita nanti! Aku tahu kakak pasti bisa, mungkin Kakak membatasi komunikasi kita, tapi aku mau nyampein dari sini aja. Semangat Kak! Jangan pernah nyerah, kita di sini untuk kebahagiaan orang tua kita. Ingat itu saja :)

Salam sayang, 
Adikmu.

Minggu, 26 Maret 2017

Berpikir?

Mata hanya bisa memandang, hati hanya bisa merasakan.
Tapi mengapa begitu sakit? 
Sementara pikiran ingin berontak, nurani pun terbebani.
"Lupa ia, cara menyayangi dirinya sendiri."
Begitu ujar dari dalam sanubari.

Karena kepedulianku terlalu berapi-api.
Sampai dia tidak ingat bagaimana cara peduli.
Bukankah, menghormati dan menghargai adalah dasar yang tertanam di dirimu?

Walau angin berbisik pelan, terayun, menghapus butiran air dari pelupuk mata.
Masih saja diri ini merasa bahwa itu tidaklah dapat dikatakan, cukup.

Bahkan sang langit pun selalu menerima siapapun yang datang.
Entah sang mentari, atau hujan yang begitu derasnya.
Namun, mengapa kau tidak melakukan hal yang sama?