Begitu panjang jalan yang kulalui, sampai akhirnya aku berada di titik ini. Titik di mana aku harus berdiri sendiri. Titik di mana penjelajahan hidup yang sebenarnya, akan dimulai.
Tak banyak yang tahu, sebelum sampai di titik ini, aku harus menempuh jalan yang terjal berbatu. Medannya penuh rintangan dan kesabaran. Saat itu aku tak berjalan sendiri. Ada tangan yang menggandengku untuk menempuh lika-liku hidup saat itu. Namun, rintangan terakhir menyebabkanku harus saling memegang tali satu sama lain. Bergantungan. Berseberangan. Siapa yang melepas, ia akan menjatuhkan lawannya. Genggaman tali itu begitu kuat sampai-sampai menimbulkan luka pada tangan ini. Terasa sakit jika tetap digenggam, namun tak kuasa untuk melepas. Sampai akhirnya, kurelakan ia terjatuh bersamaan denganku yang melepas tali itu.
Perjalanan yang begitu rumit mengantarkanku pada suatu ruang. Ruang itu begitu indah namun tidak ada yang menempatinya. Aku mengatur nafasku setelah menempuh perjalanan jauh. Mencoba menenangkan diri dengan tertidur pada hamparan rumput yang luas. Di hadapanku, birunya langit seperti lukisan Tuhan yang sangat sempurna. Awan-awan bergumul seolah menyambut kedatanganku. Jadi, ini di mana?
Takdir menunjukkanku bahwa aku telah pulang. Ya, ini adalah rumahku. Rumah yang sedang kubangun selama 22 tahun ini. Rumah yang kususun dengan cinta kasih orang tua dan bumbu-bumbu kebahagiaan senda gurau bersama teman-temanku. Rumah yang kutata rapi setiap ada yang berusaha untuk menghancurkannya. Rumah, yang sempat kutinggal beberapa waktu, untuk menata rumah seseorang. Ia memintaku untuk bersama-sama membangun rumah tinggal. Kenyataannya, rumah yang ku (kami) tata sepenuh hati, harus runtuh begitu saja akibat rusaknya pondasi rumah itu. Kepercayaan. Aku sempat bertahan pada puing-puing rumah itu namun tak akan berguna jika hanya akan hidup seorang diri pada sisa-sisa lembar yang tak mungkin diisi kembali.
Senyum mentari yang begitu terik seolah menegur kesalahanku, yang lupa bahwa tak seharusnya aku meninggalkan rumahku. Tak seharusnya aku membiarkan orang lain menjemputku untuk menjadi diriku yang berbeda. Apa yang kubangun selama ini begitu kokoh atas prinsip-prinsip yang kuyakini. Namun, ternyata bantuanku padanya disalahartikan. Ia memintaku untuk tak membawa segala dari rumahku dan membentuk cerminan baru dari diriku. Ia menggiringku untuk terikat pada kebahagiaan semu, yang semestinya tak kupercayai sedari dulu.
Renungan membawaku pada kesadaran bahwa tak semestinya aku pergi ke mana-mana. Keindahan rumah ini begitu nyaman tuk ku nikmati. Masih banyak hal yang harus kubenahi. Rumahku masih membutuhkan pernak-pernik pencapaian dan kebahagiaanku untuk mengisi ruang di dalamnya. Bunga-bunga di taman harus kusiram dengan air mata bahagia dan kupupuk dengan kehangatan pada diri sendiri. Aku harus memperoleh capaian diri setinggi mungkin agar rumah ini semakin terisi. Iya, aku harus melanjutkan impianku pada rumah ini.
Kelak, yang kubutuhkan adalah seseorang yang mengerti bahwa aku bekerja keras pada rumah ini. Seseorang yang juga telah bekerja keras untuk dirinya sendiri. Saling menyemangati untuk menata kehidupan di dalam tiap rumah. Bahwa ia percaya, masing-masing dari kita sedang membangun jati diri. Jika nantinya ruang diriku dan dirinya telah selesai terwujud, niscaya bekal yang akan kita bawa untuk membangun rumah baru akan semakin kokoh. Rumah yang begitu kuat, namun nyaman dan damai bagi para Tuannya. Tuhan akan menunjukkan siapa yang telah bekerja keras untuk dirinya, dan kepadamu yang bekerja keras juga ia akan dituntun.
Kepadamu, Dewa Agung Dita Krisnayanti.
Aku berjanji akan menjadikanmu prioritas dalam hidupku.
Aku berjanji akan selalu menyebutmu dalam doa dengan penuh cinta kasih.
Aku berjanji, kita akan bersama-sama membangun rumah ini.
Salam sayang, dariku, untuk diriku.